" Paper ini sebenernya tugas kuliah, tapi dari pada cuma jd file, lebih baik dipajang. Mungkin ada yang bisa memanfaatkannya. Maaf bila banyak terdapat kekurangan"
I.
PENDAHULUAN
Hutan merupakan hal yang unik.
Sebagai sebuah ekosistem, hutan selalu berusaha mencapai kondisi keseimbangan.
Dalam proses pencarian keseimbangan (homeostasis) tersebut, hutan tumbuh secara
dinamis mengikuti setiap perubahan yang terjadi. Semua faktor pendukung hutan
saling berinteraksi guna mencapai sebuah keseimbangan.
Interaksi tersebut bisa dalam
berbagai bentuk kegiatan seperti proses rantai makanan, simbiosis, bahkan
saling meniadakan atau kompetisi secara ekstrim. Bahkan sering kali menurut
pandangan antroposentris, kegiatan yang terjadi di dalam hutan cenderung kejam,
tidak pandang bulu, bahakan mengerikan. Sebagai contoh, misalnya bila terjadi
rumpang akibat sebuah pohon besar tumbang, maka terjadi persaingan antar
tumbuhan anakan untuk sesegera mungkin mencapai kondisi ukuran ideal untuk
tumbuh. Kompetisi yang terjadi cenderung saling mengerdilkan individu lain atau
bahkan mematikan. Tetapi, kondisi demikian adalah hal yang wajar terjadi dalam
perebutan sumber daya yang ada di wilayah tersebut. Siapa pun yang mampu tumbuh
lebih cepat, maka akan menang dan terus hidup. Sedangkan yang tidak mampu
tumbuh dengan cepat dan baik maka akan mati.
Untuk mengatasi kejamnya interaksi
antar mahluk hidup yang ada di hutan, maka setiap jenis mahluk hidup berusaha
mengisi relung yang paling baik buat dirinya melalui proses evolusi (seleksi
dan adaptasi) yang panjang. Sehingga, setiap jenis mempunyai strategi yang
berbeda untuk mempertahankan populasinya disebuah hutan (Rasidi, 2003).
Dinamika yang terjadi disebuah hutan
merupakan hasil interaksi tidak hanya antar faktor abiotiknya, tetapi juga
interaksi antara faktor abiotik dan faktor biotic (Shukla & Chandel, 1996).
Interaksi tersebut membentuk sebuah daur atau siklus, dimana setiap komponennya
saling melengkapi dan membentuk hubungan yang unik. Bila salah satu faktor
menghilang, bertambah atau berkurang, maka komposisi sebuah hutan akan bergeser
ke sebuah keseimbangan baru. Ada sebagian orang menyebutnya sebagai upaya
menuju sebuah komunitas klimaks. Tetapi pada hutan hujan tropis, istilah
komunitas klimaks sukar diterapkan karena ternyata perubahan/dinamika terus
saja terjadi karena adanya perubahan berbagai faktor pendukungnya (Richards,
1996).
Perubahan kondisi lingkungan atau
kondisi sebuah hutan bisa disebabkan oleh gangguan-gangguan yang terjadi secara
alami atau pun yang disebabkan oleh manusia (Groom dkk, 2006). Studi-studi mengenai dampak ekologis sebuah gangguan
terhadap komunitas hutan telah banyak
diteliti. Gangguan yang disebabkan oleh alam antara lain pernah diteliti oleh
Whittaker dkk (1998) di lokasi bekas
Gn. Krakatau.
Penelitian berbagai efek yang terjadi pada
hutan yang disebabkan oleh manusia juga banyak dilakukan. Penelitian-penelitian
mengenai dampak selective logging di
hutan juga pernah dilakukan oleh Cannon dkk
(1994), Dekker & Graaf (2003), dan Priatna dkk (2006). Beberapa peneliti
juga sudah melakukan penelitian mengenai gangguan hutan yang berkaitan dengan
pola hidup sebuah suku tertentu. Penelitian efek gangguan terhadap hutan yang
terjadi karena proses peladangan berpindah yang dilakukan Suku Dayak Kenyah telah
dilakukan oleh Dyson (1995), Sulistianingtyas
(1995), dan Syahirsyah (1995).
Mengingat luasnya topik yang dibahas, yaitu
mengenai dinamika hutan, maka pembahasan akan dibatasi pada dinamika yang
terjadi di hutan pamah alami terutama kawasan mangrove, dinamika yang
terjadi akibat gangguan alami, serta gangguan akibat proses peladangan berpindah
(swidden agriculture).
II.
DINAMIKA
PADA HUTAN HUJAN TROPIS
Dinamika hutan hujan tropis bisa
terjadi karena banyak hal. Bisa terjadi karena proses alami maupun proses
buatan manusia. Kejadiannya bisa dalam skala kecil, maupun dalam skala besar.
Faktor-faktor pembentuknya juga beraneka ragam.
Aktivitas hutan selalu berusaha
mencapai sebuah proses keseimbangan (homeostasis) yang dinamis. Proses tersebut
akan terus berjalan seiring pergeseran kondisi lingkungan yang ada. Bentuk
proses tersebut tidak selalu mengacu terbentuknya hutan primer yang lebat,
tetapi akan sangat bergantung pada keadaan lingkungan yang ada. Bisa saja
kondisi klimaks yang terbentuk adalah padang alang-alang.
Efek dari gangguan keseimbangan
suatu ekosistem hutan adalah suksesi. Salah satu penelitian suksesi adalah
penelitian yang dilakukan oleh Whittaker dkk
(1998) di lokasi bekas Gunung Krakatau. Pada lokasi tersebut suksesi
diamati secara terus menerus oleh berbagai pihak, dan ternyata pada daerah pesisirnya
sudah membentuk hutan, dan mengalami pergeseran spesies dominan. Gunung
Krakatau adalah salah satu kawasan yang mengalami suksesi secara ekstrim dimana
hutannya habis tanpa sisa, sehinggal relung yang kosong diisi oleh
spesies-spesies yang baru datang dari daerah lain. Sumber plasma nutfah yang
dibawa oleh angin, burung dan air, mungkin membentuk sesuatu yang berbeda
dengan kawasan aslinya. Sayangnya tidak ada catatan lengkap mengenai kondisi
hutan sebelum ledakan terjadi.
III.
DINAMIKA
PADA HUTAN PAMAH ALAMI
A.
HUTAN
PAMAH ALAMI
Hutan pamah alami adalah hutan yang berada
pada ketinggian dari permukaan laut hingga ketinggian sekitar 1000 m. Hutan
pamah alami sendiri terdiri dari berbagai ekosistem yang dipengaruhi oleh
kondisi faktor abiotik yang ada. Faktor-faktor abiotik tersebut yang dominan
adalah ketersediaan air, jenis air (air asin, air tawar, air asam, atau air
basa), serta jenis tanah atau substrat tumbuh (lumpur, tanah, pasir, batuan
gamping, gambut, dll).
Hutan pamah merupakan ekosistem yang sangat
dinamis. Selalu terjadi perubahan dari waktu ke waktu mengikuti perubahan
komposisi faktor abiotik dan faktor biotik. Perubahan faktor abiotik dan faktor
biotic ternyata saling mempengaruhi. Jadi proses yang terjadi bukan proses satu
arah dimana hanya faktor abiotik yang mempengaruhi faktor biotik. Pembahasan
mengenai hutan pamah alami hanya akan mencakup hutan mangrove. Hal tersebut
dipilih karena luasnya materi bahasan sering membuat pembahasan tidak fokus.
B.
HUTAN
MANGROVE
Menurut Rasidi (2003), hutan mangrove
mempunyai beberapa ciri utama, yaitu:
·
Terdapat di pantai yang terlindung atau muara
sungai dan tidak dipengaruhi iklim.
·
Secara berkala tergenang air laut yang
dipengaruhi pasang surut.
·
Tipe substrat berupa tanah lumpur, pasir dan
tanah liat.
·
Tidak ada stratifikasi tajuk.
·
Tinggi pohon dapat mencapai sekitar 30 m.
·
Vegetasi biasanya membentuk jalur searah
pantai.
Mangrove merupakan ekosistem yang unik,
karena ekosistem ini menghubungkan anatara ekosistem darat dan laut secara
langsung. Ekosistem ini begitu unik, karena dipengaruhi langsung oleh nutrient
dari laut, sungai, limpasan dari darat, dan mempunyai produktivitas yang tinggi
(Richards, 1996). Melihat kondisi tersebut, wajar bila mangrove merupakan salah
satu daerah dengan tingkat biodiversitas yang sangat tinggi. Ekosistem ini
mempunyai peranan penting secara ekologis dan ekonomis. Hasil alamnya sering
dimanfaatkan manusia (kayu, arang, bahan obat, dll), dan secara ekologis
merupakan tempat tinggal berbagai jenis fauna. Bahkan kawasan mangrove
merupakan kawasan breeding bagi
banyak mahluk hidup seperti burung, ikan, Crustacea, Mollusca, Mammalia, dsb.
Selain dampak ekonomis bagi manusia, mangrove juga memberikan proses
pembentukan daratan baru dan proteksi terhadap gempuran gelombang laut (Alongi
, 2007). Sebagai kawasan yang begitu kaya, wajar bila banyak hal terjadi pada
hutan mangrove.
B.1. PERSEBARAN DAN ZONASI
PADA HUTAN MANGROVE
Pada proses yang terjadi pada hutan mangrove,
dinamika sangat mudah dilihat. Richards (1996) menyatakan bahwa ada zonasi yang
terbentuk pada kawasan mangrove. Biasanya daerah yang langsung berbatasan
dengan laut didominasi oleh Avicenia,
Rhizopora, atau Sonneratia. Pada lokasi yang lebih dalam menuju daratan, atau
struktur substrat sudah lebih padat, biasanya yang muncul adalah Bruguiera. Kondisi tersebut bukan
merupakan kondisi fix, tetapi akan berbeda di setiap daerah.
Gambar 1. Tipikal zonasi mangrove di
Malay Peninsula (schematic) dari Watson (1928)
[lihat
Richards, 1996]
Keterangan gambar,
Aa: Avicenia alba, Am: Avicenia intermedia, Bc: Bruguiera
caryophilloides, Bg: Bruguiera
gymmorhiza, Bs: Bruguiera eriopetala,
Ct: Ceriops,candoleana, Ib: Intsia retusa, Ra: Rhizopora conjugata, Rm: Rhizopora
mucronata , Sa: Sonneratia alba,
Sc: Sonneratia griffithii, Xm: Carapa mollucensis, Xg: Carapa obovata.
Dari diagram diatas,
dapat dilihat bahwa terjadi proses pembentukan zonasi dari kawasan mangrove.
Dan kondisi tersebut akan terus berubah seiring dengan proses sedimentasi yang
terjadi Mangrove yang berada pada zona-zona terluar seperti Avicenia, Rhizopora, dan Sonneratia
akan mempengaruhi jenis pembentukan substrat yang terjadi. Akar-akar tanaman
ini akan mempengaruhi pembentukan lumpur baru dari proses sedimentasi dan dari
dekomposisi materi organik hasil littering.
Kawasan yang tadinya hanya pasir atau endapan lumpur sungai, menjadi lebih kaya
oleh proses dekomposisi materi organik.
Lumpur dan materi
organic tersebut perlahan akan mengendap, dan semakin keras. Setelah kondisi
tersebut terjadi, maka spesies lain mulai bisa mengisi daerah tersebut. Proses
pembentukan mangrove tersebut tidak hanya mempengaruhi pembentukan substrat,
tetapi juga mempengaruhi perubahan daur hara yang terjadi. Tidak hanya komposisi
mangrove yang berubah, tetapi pasti juga komposisi mahluk hidup lain seperti
fauna dan jamur yang ada di lokasi tersebut.
Terjadilah suksesi
secara perlahan, membentuk sebuah keseimbangan baru. Keseimbangangan itu dapat
digambarkan sebagai munculnya zonasi-zonasi yang dapat kita lihat seperti pada
diagram di atas.
Gambar
2. Hutan Rhizophora-Bruguiera,
Papua New Guinea. Foto:
P. Dixon.
[Alongi, 2007]
Zonasi yang terbentuk kearah daratan
akan berbeda kasus dengan zonasi yang terbentuk pada tepi muara sungai. Pada
derah estuary, perlahan posisi mangrove akan digantikan oleh Nypa atau jenis
lain seperti Heritiera littoralis
atau Oncosperma. Kondisi itu sangat
relative tergantung keadaan tipe perairan dan pengaruh dari luar kawasan(Richards,
1996).
Menurut Marshall (2007), kondisi
mangrove ternyata tidak hanya dipengaruhi komunitas yang terbentuk di kawasan
mangrove itu sendiri. Hutan mangrove dipengaruhi oleh kondisi dari DAS yang
ada. Proses erosi dari DAS ternyata membawa dampak pada sedimentasi yang
terbentuk, yang pada akhirnya menentukan jenis-jenis apa saja yang tumbuh di
kawasan tersebut.
Seringkali, kawasan mangrove tidak hanya
ditemukan di daerah pesisir saja. Tetapi ternyata ada jenis-jenis mangrove yang
mampu beradaptasi dengan kondisi perairan tawar dan masuk hingga jauh ke
pedalaman. Pada lokasi Delta Fly (Papua New Guinea), hutan mangrove bisa
ditemukan masuk hingga 500 km ke pedalaman, dan di Teluk Bintuni (Papua) bisa
ditemukan hingga 30 Km ke daerah hulu dari muara sungai. Janis yang ditemukan pada
daerah tersebut adalah Sonneratia
caseolaris (Alongi 2007).
Kondisi hutan mangrove ternyata
sangat dipengaruhi oleh curah hujan yang ada di suatu daerah. Kawasan-kawasan
yang curah hujannya tinggi, maka akan mudah ditemukan hutan mangrove dengan
kondisi bagus. Sementara kawasan-kawasan yang curah hujannya rendah seperti di
wilayah Port Moresby, mempunyai kawasan yang lebih sempit dan jumlah jenisnya
tidak terlalu banyak (Alongi, 2007). Hal tersebut wajar, mengingat walaupun
mangrove dapat hidup di air asin, tetap saja bila tersedia air tawar dalam
jumlah cukup mampu membuat mereka lebih bisa bertahan hidup dan tumbuh lebih
baik.
B.2.
DAUR NUTRIENT DAN RANTAI MAKANAN DI KAWASAN MANGROVE
Kawasan mangrove, seperti juga
daerah lain mempunyai daur nutrient. Ada perbedaan yang cukup signifikan antara
daur nutrient yang terjadi di hutan daratan dengan daur nutrient yang terjadi
di kawasan mangrove. Daur nutrient di kawasan mangrove cenderung lebih terbuka
Richards (1996). Hal tersebut terjadi karena mereka banyak menerima nutrient
dari daratan, berupa hasil sedimentasi,
bahan organik yang terbawa dari sungai, dan sebagainya. Nutrisi-nutrisi
tersebut dimanfaatkan oleh mahluk hidup yang ada di kawasan tersebut. Karena
sebagian mahluk hidup yang ada di kawasan tersebut adalah dalam fase anakan
(udang, ikan, burung, dll), maka pada saat mereka melakukan ruaya ke daerah
lain, maka nutrient tersebut berpindah pula ke daerah lain.
Kontribusi
mangrove sebagai pengendap nutrient hasil hasil aktivitas di daratan cukup
besar. Hal tersebut bisa kita lihat banyaknya kawasan mangrove yang luas hampir
selalu berada di muara sungai, terutama sungai-sungai besar seperti sungai
Mamberamo di Papua. Karena secara langsung, sungai merupakan pembawa sebagian
besar hasil aktivitas di daratan.
Salah
satu indikator kayanya nutrient yang ada bisa dilihat dari biomassa yang
terbentuk di kawasan mangrove. Richards (1996) meneliti di kawasan Port Weld
(Malaya Barat) menunjukkan hasil sekitar 270-460 ton/ha untuk biomassa
mangrove. Alongi (2007) menyatakan mangrove di Papua mampu menghasilkan sekitar
48-500 ton/ha, sementara di daratan berkisar 100-400 ton/ha. Hasil dari
mangrove tersebut masih estimasi kasar, karena proses di daerah mangrove sangat
kompleks. Selain itu kita perlu berhati-hati dalam membandingkan data biomassa,
karena perbedaan metode bisa menghasilkan perbedaan angka yang signifikan.
Daur
nutrient yang ada bisa dilihat dari rantai makanan yang terbentuk, Rantai makan
yang terbentuk umumnya di daerah mangrove adalah rantai makanan detritus
(Alongi, 2007). Hal tersebut wajar karena detritus merupakan hal yang paling
melimpah di kawasan mangrove. Detritus tidak hanya dating dari pembusukan
bagian tumbuhan mangrove itu sendiri, tetapi dating juga dari daratan yang
dibawa oleh sungai. Sampah organik tersebut mengendap di lantai hutan mangrove
dan mengalami pembusukan secara bertahap oleh bakteri, jamur, protozoa,
Nematoda, dan dekomposer lainnya (Alongi, 2007).
Diantara
bahan organik yang ada, potongan-potongan kecil bahan organik merupakan makanan
bagi Crustacea, Mollusca, dan ikan. Dari mahluk-mahluk tersebut nutrient
kemudian menyeba ke mahluk yang lebih besar seperti burung, reptile, dan
Mammalia seperti bekantan atau beruk.
Gambar
3. Konsep model dari rantai makanan di kawasan mangrove [Alongi 2007]
Bila kita lihat kondisi di atas,
maka perubahan terhadap ekosistem bakau, akan membawa dampak yang signifikan
terhadap kondisi mahluk hidup yang ada di dalamnya. Tetapi bila kita perhatikan
lebih jauh, perubahan di kawasan mangrove ternyata membawa kompensasi yang
tidak sedikit pada kawasan lainnya. Oleh karena itu, kawasan mangrove perlu
dilestarikan, tidak hanya demi kepentingan alam, tetapi juga demi kepentingan
manusia.
B.3.
GANGGUAN DAN KERUSAKAN KAWASAN MANGROVE
Banyak hal yang bisa menyebabkan
kerusakan kawasan mangrove. Ada sebab-sebab yang berasal dari kegiatan alam,
adapula yang disebabkan oleh aktivitas manusia. Tetapi dua hal tersebut
mempunyai efek yang beraneka ragam, sangat bergantung pada intensitas pembentuk
kerusakan atau gangguan.
Gejala-gejala alam yang sering
merusak kawasan mangrove adalah badai dan gelombang laut yang cukup besar
(bahkan tsunami). Mangrove jarang mengalami kebakaran, kecuali yang berada di
daerah daratan. Hal tersbut karena, tajuk mangrove cenderung rapat, dekat
dengan air, dan tingakt kelembapan tinggi. Api sulit menjangkau daerah seperti
ini. Makanya mangrove sring dijadikan daerah
refugee sementara bagi hewan dikawasan hutan dekat pantai yang mengalami
kebakaran.
Biasanya
efek dari gangguan tersebut berupa tumbangnya pohon-pohon mangrove. Tetapi
kondisi tersebut memberikan anakan mangrove untuk tumbuh lebih pesat dari
sebelumnya. Bahkan kondisi ini malah memicu terjadi regenerasi bagi kawasan
tersebut. Hal tersebut dimungkinkan karena lam hanya merusak pohon-pohon
mangrove tetapi tidak merusak total kawasan.
Gambar
4. Foto kerusakan kawasan mangrove akibat gelombang pasang memasuki kawasan
muara sungai (tidal bores) [Alongi
2007]
Hasil berbeda didapatkan bila
manusia yang melakukan pengrusakan terhadap kawasan mangrove. Biasanya manusia
memasuki kawasan mangrove untuk memanen hasil non kayu seperti burung, primate,
dll. Tetapi banyak juga yang menjarah hutan mangrove untuk mengambil kayunya.
Mangrove jarang dibuat untuk rumah, karena kayunya kecil, tetapi lebih sering
dibuat arang kayu. Kondisi ini sangat menyulitkan, karena untuk membuat aranga,
tidak hanya kayu mangrove yang diambil
tetapi juga akarnya. Ini menyebabkan kematian besar-besaran bagi pohon
mangrove.
Kegiatan lain yang dilakukan manusia
adalah mengkonversi lahan mangrove menjadi tambak dan tempat tinggal. Dengan
dilakukannya hal tersebut, berarti tidak aka nada lagi mangrove yang tersisa
dikawasan tersbut. Kalu pun ada hanya segaris tipis di batas pantai. Kondisi
tersebut jelas merusak keseimbangan yang terjadi, bahkan bisa mengakibatkan
kepunahan populasi mangrove di kawasan tersebut.
C. DINAMIKA HUTAN PAMAH YANG MENGALAMI
GANGGUAN AKIBAT ULAH MANUSIA (LOGGING
DAN SWIDDEN AGRICULTURE)
Beberapa
kawasan hutan pamah merupakan daerah yang sangat menarik bagi manusia. Tidak
saja karena lokasinya yang indah, tetapi juga potensinya (terutama kayu)
mempunyai nilai ekonomis tinggi. Tingginya gangguan tersebut, seringkali
merusak hutan pamah secara permanen. Gangguan yang umum disebabkan manusia
adalah logging dan peladangan berpindah (swiden
agricaulture) yang dilakukan secara tidak bijaksana.
C.1.LOGGING
Hutan pamah Indonesia kaya akan
kayu-kayu yang bernilai ekonomis. Kayu-kayu tersebut adalah kayu merbau (Instia sp.) dan matoa (Pometia) di Papua (Anggraeni, 2007), dan
berbagai kelompok meranti (Dipterocarpaceae) di wilayah Sumatra, Kalimantan,
dan Sulawesi (Sedayu, 2004).
Dalam kadar tertentu, logging mampu
meningkatkan kekayaan jenis di sebuah kawasan hutan, Dalam bukunya, Groom dkk
(2006) menyatakan bahwa sebuah hutan yang mengalami gangguan cenderung
meningkat kekayaan jenisnya. Tetapi, bila gangguan yang terjadi sangat tinggi,
kondisi sebaliknya bakal terjadi. Penurunan kekayaan jenis adalah hal yang
pasti bila gangguan sudah sangat tinggi. Teori ini dikenal dengan nama
Intermediate level or disturbance.
Logging yang dilakukan oleh
masyarakat adat ternyata terbukti bermanfaat bagi hutan. Mereka melakukannya
dengan kearifan lokal. Kusneti (1997) menyatakan hanya beberpa jenis kayu yang
dipanen untuk dipergunakan dalam pembuatan rumah orang Dayak Kenyah di Long
Alango. Mereka memilih kayu Ulin (Eusideroxylon
sp.), lemelai (Leguminosae), pelong (Ochanastachys amentacea), pongubi dan
kapun (Dryobalanops sp). Kayu-kayu
ini dipilih karena kekuatan dan kemampuannya menahan serangan rayap. Masayrakat
ini hanya memakai kayu sesuai dengan kebutuhan yang mereka inginkan, walau pun
sekarang sudah ada pergeseran budaya untuk mengkomersialisasi kawasan hutan
mereka. Bekas tebangan yang mereka lakukan mirip seperti pembentukan rumpang
alami.
Berbeda dengan logging yang
dilakukan oleh HPH. Mereka menciptakan banyak kehancuran dalam pemanfaatan
hutan. Kondisi di Papua (dan pulau lainnya di Indonesia), tidak hanya HPH yang
merusak hutan, tetapi juga proses illegal loging (Anggraeni, 2007). Padahal,
bila dilakukan selective logging maka kondisi hutan bisa kembali membaik hanya
dalam waktu kurang lebih 20 tahun. Hal tersebut terlihat dari penelitian yang
dilakukan di Suriname (Dekker & Graaf, 2003). Bila terjadi Heavy logging, tidak hanya pohon-pohon
besar hilang, tetapi Dipterocarpaceae yang masih muda butuh naungan juga akan
mati. Hal ini menghilangkan kesempatan untuk regenerasi hutan di masa datang
(Cannon dkk, 1994).
Rumpang yang terjadi dari pada
lokasi logging di daerah sekundur tenyata setelah 22 tahun tidak bisa tertutup
sempurna.Warna putih yang terlihat pada dua gambar di bawah adalah
rumpang-rumpang yang terbentuk di kawasan Sekundur hasil dari logging. Ternyata
lokasi yang menjadi jalan angkut kayu , setelah 22 tahun masih belum bisa
tertutup (Priatna dkk, 2006).
Gambar 5. Rumpang yang
terbentuk 4 tahun setelah logging di Sekundur [Priatna, 2006]
Gambar
6. Rumpang yang terbentuk 22 tahun setelah logging di Sekundur [Priatna, 2006]
Vegetasi yang muncul juga berbeda
pada hutan primer dan hutan yang terbentuk setelah logging. Spesies-spesies
hutan sekunder yang tumbuh cepat seperti Macaranga,
Bacaurea, dan Endospermum menjadi spesies yang dominan di lokasi bekas
logging.Sumber bijinya diperkirakan berada di dalam tanah. Tetapi walau pun
spesies ini cepat tumbuhnya, rumpang yang terbentuk baru akan tertutup kembali butuh
waktu sekitar 58 tahun{Priatna dkk, 2006).
Tidak
hanya komposisi vegetasi yang berubah bila sebuah hutan diganggu. Komposisi
nutrient dan kandungan bahan-bahan yang dibutuhkan mahluk hidup juga berubah.
Hasil penelitian Jiangming dkk (2007)
menunjukkan terjadi juga perbedaan dinamika antara hutan yang diganggu dengan yang
direhabilitasi. Hasil menunjukkan bahwa, hutan yang direhabilitasi mempunyai
kadar microbial pengikat N lebih tinggi dibandingkan yang terganggu. Hal
tersebut tentu menguntungkan, karena mikroba tersebut bisa memanfaatkan
nitrogen kemudian memasukkannya ke dalam rantai makanan.
Melihat
kondisi di atas, dinamika yang terbentuk akibat adanya logging di sebuah daerah
bisa mengarah ke berbagai arah suksesi. Kondisinya sangat bervariasi,
tergantung tingkat kerusakan yang dihasilkan dari logging. Bila dilakukan pada
kasus ringan, maka hutan akan bertambah kaya, bila dalam kondisi sedang, hutan
bisa kembali mendekati kondisi semula. Tatapi bila kondisi berat, maka bisa
jadi hutan akan mengalami kehancuran permanen.
D. SWIDDEN
AGRICULTURE
PADA MASYARAKAT DAYAK KENYAH
Ladang berpindah atau swidden
agriculture adalah kegiatan manusia yang dilakukan selama beribu-ribu tahun.
Beberapa masyarakat adat kita masih menggunakan teknologi ini sebagai bagian
dalam memanfaatkan lahan yang ada di sekitar mereka untuk bertanam padi atau
berkebun.
Ada kearifan lokal yang dipunyai
oleh masyarakat Dayak Kenyah dalam melakukan peladangan berpindah. Dari sejak
menentukan lahan, mereka sudah memilih lokasi-lokasi dengan indicator biologi
tertentu. Tetapi warisan pengetahuan ini didapat dari nenek moyang mereka
secara turun temurun.
Masyarakat Dayak Kenyah cenderung
memilih lahan yang ada tanaman Selaginella,
Ardisia, Timonius, dan Begonia.
Spesies-spesies ini menjadi indicator kesuburan tanah bagi masyarakat tersebut.
Sebaliknya mereka cenderung menghindari daerah yang ada tumbuhan alang-alang
dan Daemonorops histrix. Tumbuhan ini
menjadi indkator bahwa tanah tersebut tidak subur, bahkan daerah gambut
(Syahirsyah, 1995).
Dari indikator tersebut, mereka
hanya memilih lahan yang sesuai saja untuk pertanian. Mereka tidak akan membuka
lahan yang tidak subur, atau tidak bisa ditanami, atau dapat menimbulkan
kebakaran hebat saat pembukaan ladang seperti daerah gambut. Bahkan bila
diperlukan, mereka akan menanam long tuan untuk kawasan ladang yang rawan
longsor (Syahirsyah, 1995).
Setelah ladang dipakai, dan tidak
subur lagi, mereka akan meninggalkan daerah tersebut dan menuju ladang lain
yang pernah dibuka sebelumnya. Bagi
mereka, membuka lahan yang sudah pernah dibuka sebelumnya jauh lebih mudah.
Kayu hutan sekunder secara logika memang lebih lunak dari hutan primer.
Ladang-ladang yang ditinggalkan dibiarkan terus hingga menjadi hutan sekunder
dengan pohon tumbuh berdiameter sekitar 05-07 m (Dyson, 1995).
Hasil
pembukaan ladang dengan cara membakar lokasi juga menimbulkan dinamika
tersendiri pada pembentukan komunitas fauna tanah. Pada ladang yang sedang
mengalami suksesi, jenis detritivor banyak ditemukan. Kondisi tersebut wajar
mengingat lahan suksesi tinggi tingkat mortalitasnya akibat pergantian rezim
tanaman yang ada (Sulistyaningtyas, 1995).
Ternyata,
membuka peladangan dengan system swiden
agriculture mampu membuat hutan mengalami regenerasi dengan baik bila
dilakukan dengan benar. Hutan menjadi bervariasi, kaya akan jenis sesuai dengan
teori intermediate level disturbance. Permasalahan yang timbul adalah bila yang
melaukan tidak mengetahui kearifan lokal. Para petani pendatang, yang tidak
punya pengetahuan tersebut berusaha mengikuti pola masyarakat Dayak. Mereka
tidak punya pengetahuan tentang tipe lahan yang cocok dan akibatnya asal
membuka lahan. Sering kali timbul kebakaran besar bila lahan gambut yang
dibuka, atau kehancuran total bila lahan hutan kerangas yang dibuka. HUtan
tidak bisa kembali ke kondisi stabil dan cnederung menjadi daerah alang-alang
atau menjadi semi gurun, bahkan gurun.
IV.
KESIMPULAN
Kerusakan
hutan ternyata tidak hanya terjadi secara alami, tetapi juga karena ulah
manusia. Kerusakan atau gangguan tersebut merupakan bagian dari dinamika hutan
yang ada. Seringkali kerusakan tersebut dibutuhkan oleh hutan untuk
meregenerasi hutan yang sudah tua. Tetapi bila kerusakan itu dipicu manusia
secara besar-besaran, bukan regenerasi yang didapatkan, tetapi jelas merupakan
kehancuran.
V.
DAFTAR
ACUAN
Alongi, D.M. 2007. Mangrove
forest of Papua. Dalam: Marshall, J.A. & B. M.Behler. 2007. Ecology of Papua 2nd ed.
Periplus, Singapore. Hal: 824-859.
Anggraeni, D. 2007. Patterns
of commercial dan industrialresouce use in papua. Dalam: Marshall, J.A. &
B. M.Behler. 2007. Ecology of Papua 2nd
ed. Periplus,Singapore. Hal: 1149-1166.
Cannon,
C.H. D.R. Peart., M.Leighton, & K. Kartawinata. 1994. The structure of
lowland rainforest after selective logging in West Kalimantan, Indonesia. Forest Ecology Management 67: 49-68
Dekker,
M & N.R. de Graaf. 2003.Pioneer and climax tree regenerationfollowing
selective logging with silviculture in Suriname. Forest Ecology & Mangement 172: 183-190.
Dyson,
L. 1995. Sejarah perladangan di Long Pua: studi tentang interaksi manusia
dengan lingkungan hutan. Laporan penelitian WWF-IP: 41 hlm.
Jiangming, M., W. Zhang, W.
Zhu Y. Fang, D. Li , & P. Zhao. 2007.
Response of soil respiration to simulated N deposition in a disturbed
and a rehabilitated tropical forest in a disturbed and a rehabilitated tropical
forestin southern China.Plant Soil 296:
125-135.
Kusneti,
M.M. 1997. Timber species used for houses and rice storage buildings by Dayak
People in the village of Long Alango, East Kalimantan. Dalam:Sorensen, K.W.
& B. Morris. 1997. People and plant of Kayan Mentarang. WWF-IP, Jakarta.
Hal: 151-161.
Marshal, J.A. 2007. The
diversity of Papua’s ecosystem. Dalam: Marshall, J.A. & B. M.Behler. 2007. Ecology of Papua 2nd ed.
Periplus, Singapore. Hal: 753-770.
Priatna, D., K. Kartawinata,
& R. Abdulhadi. 2006. Recovery of a lowland dipterocarp forest twenty two
years after selective logging at sekundur, gunung leuser national park, north
sumatra, Indonesia. Reinwardtia 12
(3): 237-251.
Sulistyaningtyas.
S.E. 1997. Komposisi fauna tanah pada beberapa lahan suksesi setelah
perladangan di Apau Ping hulu Sangai Bahau. Laporan penelitian WWF-IP: 34 hlm.
Syahirsyah. 1995. Suksesi
vegetasi, perladangan daur ulang dan pengetahuan masyarakat Kenyah di hulu
Sungai Bahau. Laporan penelitian WWF-IP: 37 hlm.
Whittaker,
R.J. S.F. Schmitt, S.H.Jones, T. Partomihardjo, & M.B. Bush. 1998. Stand
biomass and tree mortality from permanent forest plots on Krakatau, Indonesia
1998-1995. Biotropica 30 (4):
519-529.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar