Rabu, 11 April 2012

DINAMIKA YANG TERJADI PADA HUTAN HUJAN TROPIS ALAMI DAN HUTAN YANG MENGALAMI GANGGUAN, TERUTAMA OLEH LOGGING, KEBAKARAN HUTAN, DAN PROSES PELADANGAN BERPINDAH (SWIDDEN AGRICULTURE)

" Paper ini sebenernya tugas kuliah, tapi dari pada cuma  jd file, lebih baik dipajang. Mungkin ada yang bisa memanfaatkannya. Maaf bila banyak terdapat kekurangan"
I.              PENDAHULUAN
            Hutan merupakan hal yang unik. Sebagai sebuah ekosistem, hutan selalu berusaha mencapai kondisi keseimbangan. Dalam proses pencarian keseimbangan (homeostasis) tersebut, hutan tumbuh secara dinamis mengikuti setiap perubahan yang terjadi. Semua faktor pendukung hutan saling berinteraksi guna mencapai sebuah keseimbangan.
            Interaksi tersebut bisa dalam berbagai bentuk kegiatan seperti proses rantai makanan, simbiosis, bahkan saling meniadakan atau kompetisi secara ekstrim. Bahkan sering kali menurut pandangan antroposentris, kegiatan yang terjadi di dalam hutan cenderung kejam, tidak pandang bulu, bahakan mengerikan. Sebagai contoh, misalnya bila terjadi rumpang akibat sebuah pohon besar tumbang, maka terjadi persaingan antar tumbuhan anakan untuk sesegera mungkin mencapai kondisi ukuran ideal untuk tumbuh. Kompetisi yang terjadi cenderung saling mengerdilkan individu lain atau bahkan mematikan. Tetapi, kondisi demikian adalah hal yang wajar terjadi dalam perebutan sumber daya yang ada di wilayah tersebut. Siapa pun yang mampu tumbuh lebih cepat, maka akan menang dan terus hidup. Sedangkan yang tidak mampu tumbuh dengan cepat dan baik maka akan mati.
            Untuk mengatasi kejamnya interaksi antar mahluk hidup yang ada di hutan, maka setiap jenis mahluk hidup berusaha mengisi relung yang paling baik buat dirinya melalui proses evolusi (seleksi dan adaptasi) yang panjang. Sehingga, setiap jenis mempunyai strategi yang berbeda untuk mempertahankan populasinya disebuah hutan (Rasidi, 2003).
            Dinamika yang terjadi disebuah hutan merupakan hasil interaksi tidak hanya antar faktor abiotiknya, tetapi juga interaksi antara faktor abiotik dan faktor biotic (Shukla & Chandel, 1996). Interaksi tersebut membentuk sebuah daur atau siklus, dimana setiap komponennya saling melengkapi dan membentuk hubungan yang unik. Bila salah satu faktor menghilang, bertambah atau berkurang, maka komposisi sebuah hutan akan bergeser ke sebuah keseimbangan baru. Ada sebagian orang menyebutnya sebagai upaya menuju sebuah komunitas klimaks. Tetapi pada hutan hujan tropis, istilah komunitas klimaks sukar diterapkan karena ternyata perubahan/dinamika terus saja terjadi karena adanya perubahan berbagai faktor pendukungnya (Richards, 1996).
            Perubahan kondisi lingkungan atau kondisi sebuah hutan bisa disebabkan oleh gangguan-gangguan yang terjadi secara alami atau pun yang disebabkan oleh manusia (Groom dkk, 2006). Studi-studi mengenai dampak ekologis sebuah gangguan terhadap komunitas hutan  telah banyak diteliti. Gangguan yang disebabkan oleh alam antara lain pernah diteliti oleh Whittaker dkk (1998) di lokasi bekas Gn. Krakatau.
Penelitian berbagai efek yang terjadi pada hutan yang disebabkan oleh manusia juga banyak dilakukan. Penelitian-penelitian mengenai dampak selective logging di hutan juga pernah dilakukan oleh Cannon dkk (1994), Dekker & Graaf (2003), dan Priatna dkk (2006). Beberapa peneliti juga sudah melakukan penelitian mengenai gangguan hutan yang berkaitan dengan pola hidup sebuah suku tertentu. Penelitian efek gangguan terhadap hutan yang terjadi karena proses peladangan berpindah yang dilakukan Suku Dayak Kenyah telah dilakukan oleh  Dyson (1995), Sulistianingtyas (1995), dan Syahirsyah (1995).
Mengingat luasnya topik yang dibahas, yaitu mengenai dinamika hutan, maka pembahasan akan dibatasi pada dinamika yang terjadi di hutan pamah alami terutama kawasan mangrove, dinamika yang terjadi akibat gangguan alami, serta gangguan akibat proses peladangan berpindah (swidden agriculture).

II.            DINAMIKA PADA HUTAN HUJAN TROPIS
            Dinamika hutan hujan tropis bisa terjadi karena banyak hal. Bisa terjadi karena proses alami maupun proses buatan manusia. Kejadiannya bisa dalam skala kecil, maupun dalam skala besar. Faktor-faktor pembentuknya juga beraneka ragam.
            Aktivitas hutan selalu berusaha mencapai sebuah proses keseimbangan (homeostasis) yang dinamis. Proses tersebut akan terus berjalan seiring pergeseran kondisi lingkungan yang ada. Bentuk proses tersebut tidak selalu mengacu terbentuknya hutan primer yang lebat, tetapi akan sangat bergantung pada keadaan lingkungan yang ada. Bisa saja kondisi klimaks yang terbentuk adalah padang alang-alang.
            Efek dari gangguan keseimbangan suatu ekosistem hutan adalah suksesi. Salah satu penelitian suksesi adalah penelitian yang dilakukan oleh Whittaker dkk (1998) di lokasi bekas Gunung Krakatau. Pada lokasi tersebut suksesi diamati secara terus menerus oleh berbagai pihak, dan ternyata pada daerah pesisirnya sudah membentuk hutan, dan mengalami pergeseran spesies dominan. Gunung Krakatau adalah salah satu kawasan yang mengalami suksesi secara ekstrim dimana hutannya habis tanpa sisa, sehinggal relung yang kosong diisi oleh spesies-spesies yang baru datang dari daerah lain. Sumber plasma nutfah yang dibawa oleh angin, burung dan air, mungkin membentuk sesuatu yang berbeda dengan kawasan aslinya. Sayangnya tidak ada catatan lengkap mengenai kondisi hutan sebelum ledakan terjadi.
           
III.           DINAMIKA PADA HUTAN PAMAH ALAMI

A.   HUTAN PAMAH ALAMI
Hutan pamah alami adalah hutan yang berada pada ketinggian dari permukaan laut hingga ketinggian sekitar 1000 m. Hutan pamah alami sendiri terdiri dari berbagai ekosistem yang dipengaruhi oleh kondisi faktor abiotik yang ada. Faktor-faktor abiotik tersebut yang dominan adalah ketersediaan air, jenis air (air asin, air tawar, air asam, atau air basa), serta jenis tanah atau substrat tumbuh (lumpur, tanah, pasir, batuan gamping, gambut, dll).
Hutan pamah merupakan ekosistem yang sangat dinamis. Selalu terjadi perubahan dari waktu ke waktu mengikuti perubahan komposisi faktor abiotik dan faktor biotik. Perubahan faktor abiotik dan faktor biotic ternyata saling mempengaruhi. Jadi proses yang terjadi bukan proses satu arah dimana hanya faktor abiotik yang mempengaruhi faktor biotik. Pembahasan mengenai hutan pamah alami hanya akan mencakup hutan mangrove. Hal tersebut dipilih karena luasnya materi bahasan sering membuat pembahasan tidak fokus.


B.   HUTAN MANGROVE
Menurut Rasidi (2003), hutan mangrove mempunyai beberapa ciri utama, yaitu:
·         Terdapat di pantai yang terlindung atau muara sungai dan tidak dipengaruhi iklim.
·         Secara berkala tergenang air laut yang dipengaruhi pasang surut.
·         Tipe substrat berupa tanah lumpur, pasir dan tanah liat.
·         Tidak ada stratifikasi tajuk.
·         Tinggi pohon dapat mencapai sekitar 30 m.
·         Vegetasi biasanya membentuk jalur searah pantai.
Mangrove merupakan ekosistem yang unik, karena ekosistem ini menghubungkan anatara ekosistem darat dan laut secara langsung. Ekosistem ini begitu unik, karena dipengaruhi langsung oleh nutrient dari laut, sungai, limpasan dari darat, dan mempunyai produktivitas yang tinggi (Richards, 1996). Melihat kondisi tersebut, wajar bila mangrove merupakan salah satu daerah dengan tingkat biodiversitas yang sangat tinggi. Ekosistem ini mempunyai peranan penting secara ekologis dan ekonomis. Hasil alamnya sering dimanfaatkan manusia (kayu, arang, bahan obat, dll), dan secara ekologis merupakan tempat tinggal berbagai jenis fauna. Bahkan kawasan mangrove merupakan kawasan breeding bagi banyak mahluk hidup seperti burung, ikan, Crustacea, Mollusca, Mammalia, dsb. Selain dampak ekonomis bagi manusia, mangrove juga memberikan proses pembentukan daratan baru dan proteksi terhadap gempuran gelombang laut (Alongi , 2007). Sebagai kawasan yang begitu kaya, wajar bila banyak hal terjadi pada hutan mangrove.

B.1. PERSEBARAN DAN ZONASI PADA HUTAN MANGROVE
Pada  proses yang terjadi pada hutan mangrove, dinamika sangat mudah dilihat. Richards (1996) menyatakan bahwa ada zonasi yang terbentuk pada kawasan mangrove. Biasanya daerah yang langsung berbatasan dengan laut didominasi oleh Avicenia, Rhizopora, atau Sonneratia. Pada lokasi yang lebih dalam menuju daratan, atau struktur substrat sudah lebih padat, biasanya yang muncul adalah Bruguiera. Kondisi tersebut bukan merupakan kondisi fix, tetapi akan berbeda di setiap daerah.
 Gambar 1. Tipikal zonasi mangrove di Malay Peninsula (schematic) dari Watson (1928)
[lihat Richards, 1996]
Keterangan gambar, Aa: Avicenia alba, Am: Avicenia intermedia,  Bc: Bruguiera caryophilloides, Bg: Bruguiera gymmorhiza, Bs: Bruguiera eriopetala, Ct: Ceriops,candoleana, Ib: Intsia retusa, Ra: Rhizopora conjugata, Rm: Rhizopora mucronata , Sa: Sonneratia alba, Sc: Sonneratia griffithii, Xm: Carapa mollucensis, Xg: Carapa obovata.

Dari diagram diatas, dapat dilihat bahwa terjadi proses pembentukan zonasi dari kawasan mangrove. Dan kondisi tersebut akan terus berubah seiring dengan proses sedimentasi yang terjadi Mangrove yang berada pada zona-zona terluar seperti Avicenia, Rhizopora, dan Sonneratia akan mempengaruhi jenis pembentukan substrat yang terjadi. Akar-akar tanaman ini akan mempengaruhi pembentukan lumpur baru dari proses sedimentasi dan dari dekomposisi materi organik hasil littering. Kawasan yang tadinya hanya pasir atau endapan lumpur sungai, menjadi lebih kaya oleh proses dekomposisi materi organik.
Lumpur dan materi organic tersebut perlahan akan mengendap, dan semakin keras. Setelah kondisi tersebut terjadi, maka spesies lain mulai bisa mengisi daerah tersebut. Proses pembentukan mangrove tersebut tidak hanya mempengaruhi pembentukan substrat, tetapi juga mempengaruhi perubahan daur hara yang terjadi. Tidak hanya komposisi mangrove yang berubah, tetapi pasti juga komposisi mahluk hidup lain seperti fauna dan jamur yang ada di lokasi tersebut.
Terjadilah suksesi secara perlahan, membentuk sebuah keseimbangan baru. Keseimbangangan itu dapat digambarkan sebagai munculnya zonasi-zonasi yang dapat kita lihat seperti pada diagram di atas.

Gambar 2.  Hutan Rhizophora-Bruguiera, Papua New Guinea. Foto: P. Dixon.
[Alongi, 2007]

            Zonasi yang terbentuk kearah daratan akan berbeda kasus dengan zonasi yang terbentuk pada tepi muara sungai. Pada derah estuary, perlahan posisi mangrove akan digantikan oleh Nypa atau jenis lain seperti Heritiera littoralis atau Oncosperma. Kondisi itu sangat relative tergantung keadaan tipe perairan dan pengaruh dari luar kawasan(Richards, 1996).
            Menurut Marshall (2007), kondisi mangrove ternyata tidak hanya dipengaruhi komunitas yang terbentuk di kawasan mangrove itu sendiri. Hutan mangrove dipengaruhi oleh kondisi dari DAS yang ada. Proses erosi dari DAS ternyata membawa dampak pada sedimentasi yang terbentuk, yang pada akhirnya menentukan jenis-jenis apa saja yang tumbuh di kawasan tersebut.
             Seringkali, kawasan mangrove tidak hanya ditemukan di daerah pesisir saja. Tetapi ternyata ada jenis-jenis mangrove yang mampu beradaptasi dengan kondisi perairan tawar dan masuk hingga jauh ke pedalaman. Pada lokasi Delta Fly (Papua New Guinea), hutan mangrove bisa ditemukan masuk hingga 500 km ke pedalaman, dan di Teluk Bintuni (Papua) bisa ditemukan hingga 30 Km ke daerah hulu dari muara sungai. Janis yang ditemukan pada daerah tersebut adalah Sonneratia caseolaris (Alongi 2007).
            Kondisi hutan mangrove ternyata sangat dipengaruhi oleh curah hujan yang ada di suatu daerah. Kawasan-kawasan yang curah hujannya tinggi, maka akan mudah ditemukan hutan mangrove dengan kondisi bagus. Sementara kawasan-kawasan yang curah hujannya rendah seperti di wilayah Port Moresby, mempunyai kawasan yang lebih sempit dan jumlah jenisnya tidak terlalu banyak (Alongi, 2007). Hal tersebut wajar, mengingat walaupun mangrove dapat hidup di air asin, tetap saja bila tersedia air tawar dalam jumlah cukup mampu membuat mereka lebih bisa bertahan hidup dan tumbuh lebih baik.

B.2. DAUR NUTRIENT DAN RANTAI MAKANAN DI KAWASAN MANGROVE
            Kawasan mangrove, seperti juga daerah lain mempunyai daur nutrient. Ada perbedaan yang cukup signifikan antara daur nutrient yang terjadi di hutan daratan dengan daur nutrient yang terjadi di kawasan mangrove. Daur nutrient di kawasan mangrove cenderung lebih terbuka Richards (1996). Hal tersebut terjadi karena mereka banyak menerima nutrient dari daratan, berupa  hasil sedimentasi, bahan organik yang terbawa dari sungai, dan sebagainya. Nutrisi-nutrisi tersebut dimanfaatkan oleh mahluk hidup yang ada di kawasan tersebut. Karena sebagian mahluk hidup yang ada di kawasan tersebut adalah dalam fase anakan (udang, ikan, burung, dll), maka pada saat mereka melakukan ruaya ke daerah lain, maka nutrient tersebut berpindah pula ke daerah lain.
Kontribusi mangrove sebagai pengendap nutrient hasil hasil aktivitas di daratan cukup besar. Hal tersebut bisa kita lihat banyaknya kawasan mangrove yang luas hampir selalu berada di muara sungai, terutama sungai-sungai besar seperti sungai Mamberamo di Papua. Karena secara langsung, sungai merupakan pembawa sebagian besar hasil aktivitas di daratan.
Salah satu indikator kayanya nutrient yang ada bisa dilihat dari biomassa yang terbentuk di kawasan mangrove. Richards (1996) meneliti di kawasan Port Weld (Malaya Barat) menunjukkan hasil sekitar 270-460 ton/ha untuk biomassa mangrove. Alongi (2007) menyatakan mangrove di Papua mampu menghasilkan sekitar 48-500 ton/ha, sementara di daratan berkisar 100-400 ton/ha. Hasil dari mangrove tersebut masih estimasi kasar, karena proses di daerah mangrove sangat kompleks. Selain itu kita perlu berhati-hati dalam membandingkan data biomassa, karena perbedaan metode bisa menghasilkan perbedaan angka yang signifikan.
Daur nutrient yang ada bisa dilihat dari rantai makanan yang terbentuk, Rantai makan yang terbentuk umumnya di daerah mangrove adalah rantai makanan detritus (Alongi, 2007). Hal tersebut wajar karena detritus merupakan hal yang paling melimpah di kawasan mangrove. Detritus tidak hanya dating dari pembusukan bagian tumbuhan mangrove itu sendiri, tetapi dating juga dari daratan yang dibawa oleh sungai. Sampah organik tersebut mengendap di lantai hutan mangrove dan mengalami pembusukan secara bertahap oleh bakteri, jamur, protozoa, Nematoda, dan dekomposer lainnya (Alongi, 2007).
Diantara bahan organik yang ada, potongan-potongan kecil bahan organik merupakan makanan bagi Crustacea, Mollusca, dan ikan. Dari mahluk-mahluk tersebut nutrient kemudian menyeba ke mahluk yang lebih besar seperti burung, reptile, dan Mammalia seperti bekantan atau beruk.

Gambar 3. Konsep model dari rantai makanan di kawasan mangrove [Alongi 2007]

            Bila kita lihat kondisi di atas, maka perubahan terhadap ekosistem bakau, akan membawa dampak yang signifikan terhadap kondisi mahluk hidup yang ada di dalamnya. Tetapi bila kita perhatikan lebih jauh, perubahan di kawasan mangrove ternyata membawa kompensasi yang tidak sedikit pada kawasan lainnya. Oleh karena itu, kawasan mangrove perlu dilestarikan, tidak hanya demi kepentingan alam, tetapi juga demi kepentingan manusia.

B.3. GANGGUAN DAN KERUSAKAN KAWASAN MANGROVE
            Banyak hal yang bisa menyebabkan kerusakan kawasan mangrove. Ada sebab-sebab yang berasal dari kegiatan alam, adapula yang disebabkan oleh aktivitas manusia. Tetapi dua hal tersebut mempunyai efek yang beraneka ragam, sangat bergantung pada intensitas pembentuk kerusakan atau gangguan.
            Gejala-gejala alam yang sering merusak kawasan mangrove adalah badai dan gelombang laut yang cukup besar (bahkan tsunami). Mangrove jarang mengalami kebakaran, kecuali yang berada di daerah daratan. Hal tersbut karena, tajuk mangrove cenderung rapat, dekat dengan air, dan tingakt kelembapan tinggi. Api sulit menjangkau daerah seperti ini. Makanya mangrove sring dijadikan daerah refugee sementara bagi hewan dikawasan hutan dekat pantai yang mengalami kebakaran.
Biasanya efek dari gangguan tersebut berupa tumbangnya pohon-pohon mangrove. Tetapi kondisi tersebut memberikan anakan mangrove untuk tumbuh lebih pesat dari sebelumnya. Bahkan kondisi ini malah memicu terjadi regenerasi bagi kawasan tersebut. Hal tersebut dimungkinkan karena lam hanya merusak pohon-pohon mangrove tetapi tidak merusak total kawasan.

Gambar 4. Foto kerusakan kawasan mangrove akibat gelombang pasang memasuki kawasan muara sungai (tidal bores) [Alongi 2007]

            Hasil berbeda didapatkan bila manusia yang melakukan pengrusakan terhadap kawasan mangrove. Biasanya manusia memasuki kawasan mangrove untuk memanen hasil non kayu seperti burung, primate, dll. Tetapi banyak juga yang menjarah hutan mangrove untuk mengambil kayunya. Mangrove jarang dibuat untuk rumah, karena kayunya kecil, tetapi lebih sering dibuat arang kayu. Kondisi ini sangat menyulitkan, karena untuk membuat aranga, tidak hanya kayu mangrove yang diambil  tetapi juga akarnya. Ini menyebabkan kematian besar-besaran bagi pohon mangrove.
            Kegiatan lain yang dilakukan manusia adalah mengkonversi lahan mangrove menjadi tambak dan tempat tinggal. Dengan dilakukannya hal tersebut, berarti tidak aka nada lagi mangrove yang tersisa dikawasan tersbut. Kalu pun ada hanya segaris tipis di batas pantai. Kondisi tersebut jelas merusak keseimbangan yang terjadi, bahkan bisa mengakibatkan kepunahan populasi mangrove di kawasan tersebut.

C.   DINAMIKA HUTAN PAMAH YANG MENGALAMI GANGGUAN AKIBAT ULAH MANUSIA (LOGGING DAN SWIDDEN AGRICULTURE)
Beberapa kawasan hutan pamah merupakan daerah yang sangat menarik bagi manusia. Tidak saja karena lokasinya yang indah, tetapi juga potensinya (terutama kayu) mempunyai nilai ekonomis tinggi. Tingginya gangguan tersebut, seringkali merusak hutan pamah secara permanen. Gangguan yang umum disebabkan manusia adalah logging dan peladangan berpindah (swiden agricaulture) yang dilakukan secara tidak bijaksana.

C.1.LOGGING
            Hutan pamah Indonesia kaya akan kayu-kayu yang bernilai ekonomis. Kayu-kayu tersebut adalah kayu merbau (Instia sp.) dan matoa (Pometia) di Papua (Anggraeni, 2007), dan berbagai kelompok meranti (Dipterocarpaceae) di wilayah Sumatra, Kalimantan, dan Sulawesi (Sedayu, 2004).
            Dalam kadar tertentu, logging mampu meningkatkan kekayaan jenis di sebuah kawasan hutan, Dalam bukunya, Groom dkk (2006) menyatakan bahwa sebuah hutan yang mengalami gangguan cenderung meningkat kekayaan jenisnya. Tetapi, bila gangguan yang terjadi sangat tinggi, kondisi sebaliknya bakal terjadi. Penurunan kekayaan jenis adalah hal yang pasti bila gangguan sudah sangat tinggi. Teori ini dikenal dengan nama Intermediate level or disturbance.
            Logging yang dilakukan oleh masyarakat adat ternyata terbukti bermanfaat bagi hutan. Mereka melakukannya dengan kearifan lokal. Kusneti (1997) menyatakan hanya beberpa jenis kayu yang dipanen untuk dipergunakan dalam pembuatan rumah orang Dayak Kenyah di Long Alango. Mereka memilih kayu Ulin (Eusideroxylon sp.), lemelai (Leguminosae),  pelong (Ochanastachys amentacea), pongubi dan kapun (Dryobalanops sp). Kayu-kayu ini dipilih karena kekuatan dan kemampuannya menahan serangan rayap. Masayrakat ini hanya memakai kayu sesuai dengan kebutuhan yang mereka inginkan, walau pun sekarang sudah ada pergeseran budaya untuk mengkomersialisasi kawasan hutan mereka. Bekas tebangan yang mereka lakukan mirip seperti pembentukan rumpang alami.
            Berbeda dengan logging yang dilakukan oleh HPH. Mereka menciptakan banyak kehancuran dalam pemanfaatan hutan. Kondisi di Papua (dan pulau lainnya di Indonesia), tidak hanya HPH yang merusak hutan, tetapi juga proses illegal loging (Anggraeni, 2007). Padahal, bila dilakukan selective logging maka kondisi hutan bisa kembali membaik hanya dalam waktu kurang lebih 20 tahun. Hal tersebut terlihat dari penelitian yang dilakukan di Suriname (Dekker & Graaf, 2003). Bila terjadi Heavy logging, tidak hanya pohon-pohon besar hilang, tetapi Dipterocarpaceae yang masih muda butuh naungan juga akan mati. Hal ini menghilangkan kesempatan untuk regenerasi hutan di masa datang (Cannon dkk, 1994).
            Rumpang yang terjadi dari pada lokasi logging di daerah sekundur tenyata setelah 22 tahun tidak bisa tertutup sempurna.Warna putih yang terlihat pada dua gambar di bawah adalah rumpang-rumpang yang terbentuk di kawasan Sekundur hasil dari logging. Ternyata lokasi yang menjadi jalan angkut kayu , setelah 22 tahun masih belum bisa tertutup (Priatna dkk, 2006).

Gambar 5. Rumpang yang terbentuk 4 tahun setelah logging di Sekundur [Priatna, 2006]

            Gambar 6. Rumpang yang terbentuk 22 tahun setelah logging di Sekundur [Priatna, 2006]
            Vegetasi yang muncul juga berbeda pada hutan primer dan hutan yang terbentuk setelah logging. Spesies-spesies hutan sekunder yang tumbuh cepat seperti Macaranga, Bacaurea, dan Endospermum menjadi spesies yang dominan di lokasi bekas logging.Sumber bijinya diperkirakan berada di dalam tanah. Tetapi walau pun spesies ini cepat tumbuhnya, rumpang yang terbentuk baru akan tertutup kembali butuh waktu sekitar 58 tahun{Priatna dkk, 2006).
Tidak hanya komposisi vegetasi yang berubah bila sebuah hutan diganggu. Komposisi nutrient dan kandungan bahan-bahan yang dibutuhkan mahluk hidup juga berubah. Hasil penelitian Jiangming dkk (2007) menunjukkan terjadi juga perbedaan dinamika antara hutan yang diganggu dengan yang direhabilitasi. Hasil menunjukkan bahwa, hutan yang direhabilitasi mempunyai kadar microbial pengikat N lebih tinggi dibandingkan yang terganggu. Hal tersebut tentu menguntungkan, karena mikroba tersebut bisa memanfaatkan nitrogen kemudian memasukkannya ke dalam rantai makanan.
Melihat kondisi di atas, dinamika yang terbentuk akibat adanya logging di sebuah daerah bisa mengarah ke berbagai arah suksesi. Kondisinya sangat bervariasi, tergantung tingkat kerusakan yang dihasilkan dari logging. Bila dilakukan pada kasus ringan, maka hutan akan bertambah kaya, bila dalam kondisi sedang, hutan bisa kembali mendekati kondisi semula. Tatapi bila kondisi berat, maka bisa jadi hutan akan mengalami kehancuran permanen.

D.   SWIDDEN AGRICULTURE PADA MASYARAKAT DAYAK KENYAH
            Ladang berpindah atau swidden agriculture adalah kegiatan manusia yang dilakukan selama beribu-ribu tahun. Beberapa masyarakat adat kita masih menggunakan teknologi ini sebagai bagian dalam memanfaatkan lahan yang ada di sekitar mereka untuk bertanam padi atau berkebun.
            Ada kearifan lokal yang dipunyai oleh masyarakat Dayak Kenyah dalam melakukan peladangan berpindah. Dari sejak menentukan lahan, mereka sudah memilih lokasi-lokasi dengan indicator biologi tertentu. Tetapi warisan pengetahuan ini didapat dari nenek moyang mereka secara turun temurun.
            Masyarakat Dayak Kenyah cenderung memilih lahan yang ada tanaman Selaginella, Ardisia, Timonius, dan Begonia. Spesies-spesies ini menjadi indicator kesuburan tanah bagi masyarakat tersebut. Sebaliknya mereka cenderung menghindari daerah yang ada tumbuhan alang-alang dan Daemonorops histrix. Tumbuhan ini menjadi indkator bahwa tanah tersebut tidak subur, bahkan daerah gambut (Syahirsyah, 1995).
            Dari indikator tersebut, mereka hanya memilih lahan yang sesuai saja untuk pertanian. Mereka tidak akan membuka lahan yang tidak subur, atau tidak bisa ditanami, atau dapat menimbulkan kebakaran hebat saat pembukaan ladang seperti daerah gambut. Bahkan bila diperlukan, mereka akan menanam long tuan untuk kawasan ladang yang rawan longsor (Syahirsyah, 1995).
            Setelah ladang dipakai, dan tidak subur lagi, mereka akan meninggalkan daerah tersebut dan menuju ladang lain yang pernah dibuka sebelumnya.  Bagi mereka, membuka lahan yang sudah pernah dibuka sebelumnya jauh lebih mudah. Kayu hutan sekunder secara logika memang lebih lunak dari hutan primer. Ladang-ladang yang ditinggalkan dibiarkan terus hingga menjadi hutan sekunder dengan pohon tumbuh berdiameter sekitar 05-07 m (Dyson, 1995).
Hasil pembukaan ladang dengan cara membakar lokasi juga menimbulkan dinamika tersendiri pada pembentukan komunitas fauna tanah. Pada ladang yang sedang mengalami suksesi, jenis detritivor banyak ditemukan. Kondisi tersebut wajar mengingat lahan suksesi tinggi tingkat mortalitasnya akibat pergantian rezim tanaman yang ada (Sulistyaningtyas, 1995). 
Ternyata, membuka peladangan dengan system swiden agriculture mampu membuat hutan mengalami regenerasi dengan baik bila dilakukan dengan benar. Hutan menjadi bervariasi, kaya akan jenis sesuai dengan teori intermediate level disturbance. Permasalahan yang timbul adalah bila yang melaukan tidak mengetahui kearifan lokal. Para petani pendatang, yang tidak punya pengetahuan tersebut berusaha mengikuti pola masyarakat Dayak. Mereka tidak punya pengetahuan tentang tipe lahan yang cocok dan akibatnya asal membuka lahan. Sering kali timbul kebakaran besar bila lahan gambut yang dibuka, atau kehancuran total bila lahan hutan kerangas yang dibuka. HUtan tidak bisa kembali ke kondisi stabil dan cnederung menjadi daerah alang-alang atau menjadi semi gurun, bahkan gurun.

IV.          KESIMPULAN
Kerusakan hutan ternyata tidak hanya terjadi secara alami, tetapi juga karena ulah manusia. Kerusakan atau gangguan tersebut merupakan bagian dari dinamika hutan yang ada. Seringkali kerusakan tersebut dibutuhkan oleh hutan untuk meregenerasi hutan yang sudah tua. Tetapi bila kerusakan itu dipicu manusia secara besar-besaran, bukan regenerasi yang didapatkan, tetapi jelas merupakan kehancuran.

V.           DAFTAR ACUAN
Alongi, D.M. 2007. Mangrove forest of Papua. Dalam: Marshall, J.A. & B. M.Behler. 2007. Ecology of Papua 2nd ed. Periplus, Singapore. Hal: 824-859.
Anggraeni, D. 2007. Patterns of commercial dan industrialresouce use in papua. Dalam: Marshall, J.A. & B. M.Behler. 2007. Ecology of Papua 2nd ed. Periplus,Singapore. Hal: 1149-1166.
Cannon, C.H. D.R. Peart., M.Leighton, & K. Kartawinata. 1994. The structure of lowland rainforest after selective logging in West Kalimantan, Indonesia. Forest Ecology Management  67: 49-68
Dekker, M & N.R. de Graaf. 2003.Pioneer and climax tree regenerationfollowing selective logging with silviculture in Suriname. Forest Ecology & Mangement 172: 183-190.
Dyson, L. 1995. Sejarah perladangan di Long Pua: studi tentang interaksi manusia dengan lingkungan hutan. Laporan penelitian WWF-IP: 41 hlm.
Jiangming, M., W. Zhang, W. Zhu Y. Fang, D. Li , & P. Zhao. 2007.  Response of soil respiration to simulated N deposition in a disturbed and a rehabilitated tropical forest in a disturbed and a rehabilitated tropical forestin southern China.Plant Soil 296: 125-135.
Kusneti, M.M. 1997. Timber species used for houses and rice storage buildings by Dayak People in the village of Long Alango, East Kalimantan. Dalam:Sorensen, K.W. & B. Morris. 1997. People and plant of Kayan Mentarang. WWF-IP, Jakarta. Hal: 151-161.
Marshal, J.A. 2007. The diversity of Papua’s ecosystem. Dalam: Marshall, J.A. & B. M.Behler. 2007. Ecology of Papua 2nd ed. Periplus, Singapore. Hal: 753-770.
Priatna, D., K. Kartawinata, & R. Abdulhadi. 2006.   Recovery of a lowland dipterocarp forest twenty two years after selective logging at sekundur, gunung leuser national park, north sumatra, Indonesia. Reinwardtia 12 (3): 237-251.
Sulistyaningtyas. S.E. 1997. Komposisi fauna tanah pada beberapa lahan suksesi setelah perladangan di Apau Ping hulu Sangai Bahau. Laporan penelitian WWF-IP: 34 hlm.
Syahirsyah. 1995. Suksesi vegetasi, perladangan daur ulang dan pengetahuan masyarakat Kenyah di hulu Sungai Bahau. Laporan penelitian WWF-IP: 37 hlm.
Whittaker, R.J. S.F. Schmitt, S.H.Jones, T. Partomihardjo, & M.B. Bush. 1998. Stand biomass and tree mortality from permanent forest plots on Krakatau, Indonesia 1998-1995. Biotropica 30 (4): 519-529.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar